Setelah 3 Hari Naik, Harga CPO Akhirnya Turun

18
VOLUME EKSPOR MINYAK SAWIT
Seorang buruh tani memanen kelapa sawit di Perkebunan PTPN VII Kebun Gedeh, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 3 Des. 2018. (Foto: ANTARA)

Harga kontrak Crude Palm Oil (CPO) di Bursa Malaysia Derivatives terkoreksi pada penutupan Rabu (25/5/2022). Hal tersebut terjadi akibat aksi profit taking pelaku pasar dan investor setelah sebelumnya reli tiga hari berturut-turut.

Berdasarkan data Bursa Malaysia Derivatives pada penutupan Rabu (25/5/2022), kontrak berjangka CPO untuk pengiriman Juni 2022 terkoreksi 94 Ringgit Malaysia menjadi 6.960 Ringgit Malaysia per ton. Kontrak pengiriman Juli 2022 turun 65 Ringgit Malaysia menjadi 6.697 Ringgit Malaysia per ton.

Sementara itu, kontrak pengiriman Agustus 2022 anjlok 99 Ringgit Malaysia menjadi 6.383 Ringgit Malaysia per ton. Kontrak pengiriman September 2022 jatuh 110 Ringgit Malaysia menjadi 6.201 Ringgit Malaysia per ton. Serta, kontrak pengiriman Oktober 2022 terjatuh 93 Ringgit Malaysia menjadi 6.111 Ringgit Malaysia per ton. Kontrak pengiriman November 2022 turun 82 Ringgit Malaysia menjadi 6.069 Ringgit Malaysia per ton.

Trader Minyak sawit David Ng mengatakan pelemahan harga CPO terjadi akibat aksi profit taking setelah sebelumnya mengalami reli penguatan. “Ditambah lagi, harga minyak kedelai di Chicago Board of Trade (CboT) juga mengalami pelemahan,” ungkapnya dikutip Bernama, Kamis (26/5/2022).

Menurut surveyor kargo Intertek Testing Services, ekspor produk minyak sawit Malaysia dari 1-5 Mei naik 24,8 persen menjadi 1.141.764 ton dari 914.661 ton yang dikirim selama 1-25 April.

Sementara itu, Research & Development ICDX Girta Yoga mengatakan, harga CPO akan melanjutkan penguataan pada pekan ini. Hal ini diperkirakan akibat pelaku pasar di global masih pada posisi ‘wait and See’ atas relaksasi kebijakan ekspor Indonesia. “Ini karena kebijakan di Indonesia yang acapkali sukar diprediksi. Indikator lainnya adalah rilis data ekspor CPO Malaysia sebagai gambaran untuk melihat permintaan CPO di pasar global,” ungkap Yoga kepada Investor Daily, belum lama ini.

Yoga mengatakan, aturan DMO dan DPO pada dasarnya bertujuan untuk memastikan ketersediaan pasokan dalam negeri serta harga yang terjangkau bagi masyarakat. Meski demikian, poin lain yang tidak kalah penting adalah pemerintah perlu memperhatikan bahwa saat penerapan DMO dan DPO ini tidak akan sampai berdampak negatif pada harga TBS di sisi petani.

Namun, lanjut dia, untuk saat ini potensinya tidak dalam waktu dekat, karena dari sisi pembeli tentunya masih ada kekhawatiran country risk akan adanya perubahan kebijakan kembali sewaktu-waktu, sehingga dalam waktu dekat ini lebih ke arah ‘wait and see’ dan laju ekspor tidak akan terlalu melonjak signifikan.

Menurut Yoga, tidak hanya di Indonesia, perubahan kebijakan yang sangat cepat berubah tentu akan berdampak pada peningkatan ‘country risk’ di negara terkait. Imbasnya sendiri lebih ke arah negatif karena akan mengurangi rasa kepercayaan dari negara importir. Namun, dalam kasus tertentu perubahan ini terpaksa harus dilakukan, termasuk untuk kasus CPO ini.

“Sebab, jika tidak dilakukan pelarangan ekspor, maka dikhawatiran kondisi kelangkaan minyak goreng masih akan terus terlanjut, dimana hal ini tentu akan menciptakan masalah yang lebih pelik,” tutup Yoga.