LAWOROKU.COM, JAKARTA – Rupiah berpeluang memperbaiki kinerja dalam perdagangan di pasar spot hari ini apabila melihat sentimen pasar global yang cenderung makin memberi dukungan pada skenario penurunan suku bunga acuan Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat (AS).
Namun, kewaspadaan investor mungkin masih membayangi peluang rupiah dari sentimen domestik, termasuk terkait rencana Bank Indonesia menggeber lagi program pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan skema burden sharing dengan Kementerian Keuangan untuk membiayai program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Indeks dolar AS ditutup melemah 0,26% tadi malam di level 98,14. Pelemahan DXY tak membuat rupiah forward (NDF) di pasar offshore menguat. Pada penutupan bursa New York kemarin, rupiah NDF ditutup melemah 0,12% di level Rp16.480/US$.
Pagi ini, Kamis (4/9/2025), rupiah NDF bergerak di kisaran Rp16.465/US$. Cukup berjarak dengan posisi penutupan rupiah spot kemarin di level Rp16.415/US$, mengisyaratkan potensi tekanan di pasar hari ini untuk mata uang Indonesia masih terbuka.
Sentimen pasar global sejatinya cenderung mendukung penguatan mata uang emerging market. Data pembukaan lapangan kerja di AS, JOLTS Opening, yang dirilis tadi malam mencatat angka lebih rendah ketimbang perkiraan pasar sehingga memberi kesan kondisi pasar kerja di negeri itu memang tengah tertekan. Angka pemutusan hubungan kerja, JOLTS Layoff rate juga naik menyentuh 1,1%.
“Data ini mengonfirmasi perlambatan laju perekrutan yang terlihat dalam berbagai statistik secara agregat, tetapi hal ini sudah kami ketahui—dan itulah mengapa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin dalam dua pekan ke depan,” kata Peter Boockvar dari The Boock Report, dilansir dari Bloomberg News.
Pasar kini memprediksi The Fed akan memangkas bunga acuan sebanyak dua kali pada sisa tahun ini. Sentimen inilah yang menekan pamor dolar AS.
Dalam pernyataan terbaru hari ini, Gubernur Federal Reserve Bank of Atlanta, Raphael Bostic menegaskan kembali bahwa ia memandang satu kali pemangkasan suku bunga sebagai langkah tepat untuk tahun ini. Meski begitu, hal ini bisa berubah bergantung pada perkembangan inflasi dan pasar tenaga kerja.
“Saya yakin, meski stabilitas harga tetap menjadi prioritas utama, pasar tenaga kerja cukup melambat, sehingga pelonggaran kebijakan—mungkin sekitar 25 basis poin—akan tepat untuk sisa tahun ini,” tulis Bostic dalam esai yang diterbitkan Rabu pagi, dilansir dari Bloomberg News.
“Hal ini dapat berubah, bergantung pada arah inflasi dan perkembangan pasar tenaga kerja dalam beberapa bulan mendatang.”
Sementara itu, Deputi Gubernur Federal ReserveChristopher Waller mengatakan bank sentral AS harus mulai menurunkan suku bunga bulan ini dan memotongnya lagi dalam beberapa bulan ke depan. Dia menambahkan bahwa para pejabat dapat mendiskusikan laju pemotongan yang tepat.
“Kami perlu mulai memangkas suku bunga pada pertemuan berikutnya, sehingga kami tidak perlu mengikuti urutan langkah yang kaku,” kata Waller dalam wawancara dengan CNBC, Rabu.
“Kami bisa melihat ke mana arahnya karena orang-orang masih khawatir akan inflasi tarif. Saya tidak, tetapi orang lain khawatir.
“DXY bergerak menguat pagi ini usai komentar-komentara pejabat The Fed tersebut keluar. Kini indeks dolar AS bergerak di kisaran 98,18. Para pejabat The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga pada pertemuan 16-17 September, meski mereka masih bergulat dengan dampak ekonomi akibat tarif.

Hanya, rupiah tidak hanya ditentukan oleh faktor pasar global. Pasar juga masih mencermati perkembangan pengendalian situasi politik yang memanas pada pekan lalu.
Aksi unjuk rasa elemen masyarakat sipil kembali marak pada pekan ini menyuarakan aspirasi, termasuk mendesak pemerintahan untuk menarik mundur TNI dari tugas pengamanan urusan sipil.
Serta desakan agar pemerintah membentuk tim independen untuk menyelidiki kematian beberapa orang selama aksi demonstrasi yang meluas sepanjang pekan lalu.
Pasar juga mencermati perkembangan isu seputar rencana burden sharing BI dengan Kemenkeu demi mendanai berbagai program Asta Cita Presiden Prabowo.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan dalam rapat bersama anggota DPD-RI pada awal pekan ini, BI mendukung program pemerintah dengan melakukan kesepakatan berbagi beban dengan Kemenkeu dari sisi beban bunga, dan membeli obligasi pemerintah di pasar sekunder.
Kabar langkah BI itu telah menekan pasar SUN dan rupiah pada perdagangan kemarin. Di tengah penguatan valuta Asia, rupiah masih melemah jadi yang terburuk kedua di Asia.
Sedangkan harga obligasi pemerintah tertekan ditandai dengan kenaikan yield SUN tenor 10Y hingga 3 basis poin menyentuh 6,376%.
Sedangkan tenor 2Y tercatat turun 3,8 bps, mengindikasikan investor menempuh strategi defensif dengan selisih yield di antara dua tenor itu kian melebar menjadi 115,4 bps dari posisi 107,8 bps pada pekan lalu.
“Pergerakan ini menunjukkan reaksi negatif atas pemberitaan kebijakan burden sharing, tetapi investor agak berhati-hati dalam menanggapi pemberitaan tersebut. Kehati-hatian ini berlandaskan pada pengumuman yang bersifat tiba-tiba. Bahkan, para anggota Komisi XI DPR RI tak mengetahui adanya burden sharing selain reinvestasi obligasi VR era pandemi melalui debt switching, pembelian SPN/SPNS di pasar lelang dan pembelian di pasar sekunder,” kata tim analis Mega Capital Sekuritas dalam catatannya, pagi ini.
Jaminan BI
Dalam pernyataan terbaru hari ini, Bank Indonesia mengatakan, sinergi kebijakan moneter dan fiskal demi mendorong pertumbuhan ekonomi akan dilakukan secara berhati-hati dan sejalan dengan disiplin dan integritas pasar.
“Pembelian obligasi [SUN] oleh bank sentral dilakukan secara terukur dan transparan sejalan dengan upaya menjaga stabilitas dan kredibilitas kebijakan moneter,” demikian pernyataan Bank Indonesia, dilansir Bloomberg News.
BI mendukung pertumbuhan ekonomi dalam bentuk pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder dan pembagian biaya bunga untuk program terkait perumahan rakyat dan koperasi.
Sebagai gambaran, BI saat ini menguasai sekitar Rp1.609,9 triliun SBN (gross) di pasar per data 1 September, memasukkan BI ke kelompok langka sebagai bank sentral yang menjadi pemegang obligasi pemerintah terbesar, bersama Bank of Japan.
Dalam nilai net, kepemilikan BI di SBN mencapai Rp1.535,47 triliun, setara dengan 24% total SBN yang beredar di pasar saat ini, mengalahkan persentase kepemilikan SBN oleh perbankan 20,8%, juga industri asuransi dan dana pensiun 18,52%.
Lonjakan kepemilikan SBN yang besar oleh bank sentral itu menjadi salah satu imbas dari kesepakatan burden sharing BI dan Kemenkeu pada periode pandemi Covid-19 lalu. Kala itu burden sharing disepakati untuk mengurangi beban fiskal demi membiayai dampak pandemi. Pandemi telah menjatuhkan perekonomian hingga kas negara tertekan akibat pendapatan pajak melemah.
Sementara kali ini, burden sharing ditempuh untuk membiayai program Presiden Prabowo ketika perekonomian dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik masih mampu tumbuh 5,12% di tengah keluhan kelesuan daya beli masyarakat. Para ekonom sempat menyoroti risiko dari lonjakan kepemilikan SBN oleh BI tersebut yang pada satu titik dinilai bisa membatasi keleluasaan bank sentral dalam mengelola moneter serta menjaga independensi kebijakan ke depan.